Total Pengunjung

Jumat, 25 November 2011

Menebang Pohon demi Perpustakaan

JAKARTA - Perpustakaan menjadi salah satu tempat menimba ilmu secara mandiri bagi siapa saja. Keberadaanya pun dianggap dan menjadi persyaratan mutlak tiap sekolah yang berdiri.
Namun, apa daya terbatasnya lahan dan dana untuk membangun perpustakaan membuat sekolah-sekolah di pedalaman Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu. Tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk disulap menjadi perpustakaan.
Hal inilah yang dialami SDN 012 Silikuan Hulu, Ukui. Sang kepala sekola, Edi Mohammad Muhtar mengaku buku-buku pelajaran pemberian Dinas Transmigrasi hanya digunakan setiap kelas jika dibutuhkan. Apabila tidak digunakan, buku-buku itu dibiarkan begitu saja di ruang guru sampai usang.
Tetapi, lama-kelamaan Edi menyadari pentingnya keberadaan perpustakaan bagi sekolah. "Perpustakaan termasuk salah satu program yang menentukan akreditasi sekolah. Kalau tidak ada, maka akreditasi terpengaruh," ungkap Edi, Kamis (24/11/2011), saat dijumpai Kompas.com di sekolahnya.
Semakin tinggi akreditasi sebuah sekolah akan membuat sekolah itu semakin diperhatikan dan bisa pula membuat anggaran bertambah. Edi berharap hal itu terjadi di sekolahnya.
Ia bersama lima guru lainnya akhirnya mengikuti program Pelita Pustaka yang diadakan Tanoto Foundation pada awal tahun 2010. Namun, lagi-lagi kendala terbatasnya ruangan membuat Edi harus berpikir keras.
SDN 012 Silikuan Hulu sebenarnya terdiri dari dua gedung berlantai satu. Satu gedung setengahnya terbuat dari kayu yang diperuntukkan untuk ruang kelas dan ruang guru.
"Gedung kayu itu saja swadaya masyarakat sudah dibuat kelas dan ruang guru. Sudah tidak ada lagi ruangan," kata Edi.
Edi pun sempat memaksakan perpustakaan di dalam kelas dengan diberi papan penyekat. Tetapi, hal itu tidak efektif karena justru mengganggu proses belajar di kelas sampingnya.
Untuk membuat sebuah perpustakaan beserta dengan bukunya, Edi butuh jutaan rupiah. Hal ini tidak memungkinkan mengingat kas sekolah setiap semesternya hanya mendapat Rp 14 juta.
"Anggaran itu habis untuk guru honorer yang jumlahnya 4-5 orang, jadi tidak cukup untuk kebutuhan lain," ujar Edi.
Alam rupanya memberikan solusi kemudahan bagi manusia. Dua buah pohon akasia berukuran besar akhirnya dipotong sebagai bahan dasar membuat perpustakaan berukuran 3x7 meter dan sebuah kantin. Keputusan memangkas pohon yang sudah udzur itu terbilang berat bagi Edi.
"Karena ada pohon akasia, biarlah ini kami korbankan Akasia kami tumbang, dan akhirnya tercipta perpustakaan ukuran 3 x 7 meter," tutur Edi.
Pada waktu itu, kata Edi, memang ada program penghijauan, tetapi keputusan menebang terpaksa diambil karena uang sumbangan Rp 70.000 per anak masih tidak mencukupi.
"Kami kira untuk manfaat yang lebih banyak jadi pohon itu tak apalah ditumbang. Selain kayunya bisa jadi perpustakaan, kayu itu juga bisa dijadikan kantin," papar Edi yang juga pendiri SDN 012 Silikuan Hulu.
Sebelum pohon ditebang, di bawah pohon rindang itu banyak pedagang makanan yang berjualan sehingga membuat kondisi sekolah berantakan. Dengan menebang pohon itu, para pedagang dipindahkan ke sebuah bedeng dari kayu yang diambil dari pohon Akasia itu.
"Setelah itu bantuan dari Tanoto Foundation datang sebanyak 120 buku pinjaman. Awalnya berat karena kalau hilang harus ganti. Tapi kami pikir tak apa demi anak-anak," imbuhnya.
Alhasil, perpustakaan yang diapit ruang kelas dan ruang guru itu kini ramai dikunjungi siswa. Dengan ratusan koleksi judul buku mulai dari fiksi, non-fiksi, ensiklopedia menjadi santapan sehari-hari siswa-siswi SDN 012 Silikuan Hulu.
Ruangan itu memang sederhana hanya terbuat dari kayu bahkan lampu penerangan pun tidak ada. Tetapi, Edi berharap dari ruang kecil itu, sekolahnya bisa mencetak anak-anak yang sukses di kemudian hari. Pohon Akasia yang sebelumnya ditebang pun kini sudah diganti dengan dua buah pohon Ketapang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar