Total Pengunjung

Jumat, 25 November 2011

Homeschooling Alternatif Untuk Sekolah

Homeschooling
Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4).

Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005).

Dalam Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1).

Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sejarah Singkat

Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.

Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).

Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.

Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

Di Indonesia

Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar.
Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005).
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.

Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling

  • Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.

  • Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.

Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).

  • Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.

  • Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).

Homeschooling vs Sekolah Umum
Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.

Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan.

Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.

Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.

Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

sumber : http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar